Konsep link and
match antara dunia
pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan
pendekatan market labour based
tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja didasarkan pada
analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan
besar kebutuhannya.
Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang
berbasis pada pasar kerja (labour
market based). Prosesnya selama ini adalah product oriented, yaitu dunia pendidikan lebih fokus pada
upaya menghasilkan lulusan yang berkualitas. Namun kualitas dan karakteristik
seperti apa yang dibutuhkan oleh pasar kerja? Oleh karena itu, labour market oriented, saat ini
lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas,
dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.
Mengurangi pengangguran pada umumnya, dan pengangguran
terdidik pada khususnya, mengingatkan kita pada harapan akan tumbuhnya enterpreneurship atau kewirausahaan. Namun, seperti tercatat
dalam Sensus Ketenagakerjaan Nasional 2007, hanya 5 persen dari jumlah angkatan
kerja kita yang berminat pada kewirausahaan.
Selebihnya, mayoritas berlomba-lomba menjadi karyawan
(bekerja pada pihak lain untuk mendapatkan upah atau gaji). Padahal ada harapan
kewirausahaan sebagai langkah untuk pemberdayaan angkatan kerja menciptakan
lapangan kerja bagi diri sendiri dan orang lain.
Entrepreneur atau
wirausahawan adalah seseorang yang mampu mengubah kotoran atau rongsokan
menjadi emas.
Indonesia banyak
menciptakan sarjana pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja, itu membuat
masyarakat Indonesia terbiasa makan gaji sehingga tidak mandiri dan kreatif.
Indonesia selama ini hanya mencetak begitu banyak sarjana yang hanya
mengandalkan kemampuan akademisnya, tetapi tidak menjadikan mereka lulusan yang
kreatif.
Malaysia punya
lebih banyak wirausahawan daripada Indonesia, kini mereka lebih maju karena
pendapatannya yang 4 kali lebih besar dari Indonesia.
Makin banyak
entrepreneur, seharusnya semakin makmur negara itu. Ilmuwan dari Amerika
Serikat (AS) David McClelland pernah menjelaskan bahwa suatu negara disebut
makmur jika minimal mempunyai jumlah wirausahawan minimal 2% dari jumlah
penduduk di negara tersebut.
Menurut Ir
Antonius Tanan, Direktur Human Resources Development (HRD) Ciputra Group yang
juga menangani Ciputra Entrepreneurship School (CES), bahwa pada 2007 lalu AS
memiliki 11,5% wirausahawan di negaranya.
Sementara itu,
Singapura memunyai 4,24 juta wirausahawan pada 2001 atau sekitar 2,1 %. Dan 4
tahun kemudian (2006) jumlah tersebut meningkat menjadi 7,2%, sedangkan
Indonesia hanya memiliki 0,18% jumlah wirausahawan (sampai dengan bulan
Desember 2010).
Sedangkan Malaysia, yang kita pakai
perbandingan, jumlah wirausahawan di negara tersebut sudah mencapai 2.1%
(sampai dengan bulan Desember 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar